Dalam salah satu pembahasannya mengenai tawassul (hal 118), Novel memberinya judul sebagai berikut: Tawassul Nabi Muhammad saw dengan orang-orang yang berdoa. Kemudian ia mengatakan: Abu Sa’id Al Khudri
Dalam salah satu pembahasannya mengenai tawassul (hal 118), Novel memberinya judul sebagai berikut: Tawassul Nabi Muhammad saw dengan orang-orang yang berdoa. Kemudian ia mengatakan:
Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa keluar dari rumahnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Berikut ini adalah terjemahan versi Novel (hal 118-119):
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepada-Mu [1]. Dan aku memohon kepada-Mu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Sebagaimana yang telah disinggung dalam mukaddimah, orang-orang model Novel Alaydrus memang hobi berdalil dengan dua tipe hadits. Pertama: hadits shahih namun tidak ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, dan kedua: hadits dha’if atau bahkan palsu (maudhu’) namun mendukung pendapatnya. Nah, hadits ini adalah tipe kedua.
Bila kita dudukkan hadits di atas menurut ilmu musthalah hadits, ternyata hadits di atas memiliki tiga cacat;
Pertama: salah satu perawinya adalah ‘Athiyyah Al ‘Aufy yang dinyatakan dha’if oleh para ulama [2].
Kedua: ‘Athiyyah ini selain dha’if juga seorang mudallis, alias suka menyamarkan hadits. Dalam biografinya disebutkan bahwa mulanya ia meriwayatkan hadits dari sahabat Nabi yang bernama Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu. Setelah Abu Sa’id wafat, ia bermajelis dengan salah seorang yang terkenal sebagai pendusta, namanya Al Kalby. Tiap kali ‘Athiyyah meriwayatkan hadits dari gurunya yang kedua ini, dia menjulukinya dengan Abu Sa’id, hingga orang-orang terkecoh dan mengiranya Abu Sa’id Al Khudry, padahal sesungguhnya ia adalah Al Kalby si pendusta!![3]
Berangkat dari sini, kita patut mencurigai hadits di atas. Jangan-jangan Abu Sa’id yang dimaksud ialah Al Kalby, bukan Al Khudry. Karena boleh jadi perawi yang meriwayatkan hadits ini terkecoh ketika mendengar ‘Athiyyah meriwayatkannya dari Abu Sa’id, lantas menganggapnya Abu Sa’id Al Khudry.
Ketiga: lafadz hadits ini mudhthorib (labil), kadang ia dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kadang hanya dinisbatkan kepada Abu Sa’id Al Khudry (mauquf).[4]
Kesimpulannya, meski hadits di atas ada yang menganggapnya shahih, akan tetapi menurut kaidah ilmu musthalah hadits, hadits di atas memiliki cacat dalam sanadnya yang menyebabkannya dho’if. Oleh karena itu, pendapat sebagian ulama yang menshahihkannya atau menghasankannya dinilai tasahul alias agak menggampangkan dan kurang jeli dalam masalah ini.
Kalaupun hadits di atas kita terima sebagai hadits shahih/hasan, toh ia tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kemuliaan orang lain. Akan tetapi ia sekedar menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul dengan salah satu sifat Allah yang tersirat dari ungkapan: “dengan hak setiap orang yang berdoa kepada-Mu”, dan hak mereka ialah dikabulkan doanya (al ijabah) sebagaimana yang Allah sebutkan dalam hadits:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ؟ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟
“Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, yaitu ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, supaya Kukabulkan doanya? siapa yang meminta kepada-Ku, supaya Kupenuhi permintaannya? dan siapa yang mohon ampun kepada-Ku, agar Kuampuni dia” (Muttafaq alaih)[5]
Jadi, mereka sesungguhnya bertawassul dengan sifat al ijabah (mengabulkan doa) yang merupakan salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla. Dan tawassul semacam ini adalah tawassul yang dianjurkan.
Dalam pembahasan berikutnya, Novel menyebutkan hadits lain yang menurutnya merupakan dalil bolehnya bertawassul dengan orang lain yang tidak hadir di tempat, pembahasan tersebut ia namakan: Tawassul Nabi Adam dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal 119).[6]
Haditsnya cukup panjang, karenanya kami cukupkan dengan menyebutkan terjemahannya menurut Novel;
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Muhammad[7] agar Engkau mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Kuciptakan?’ Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari Ruh-Mu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang Arsy tercantum tulisan yang berbunyi La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai.’ Allah berkata, ‘Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaku dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakanmu” (HR. Hakim).[8]
Sekarang, mari kita cek validitas hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak ‘ala Ash Shahihain, setelah meriwayatkannya, beliau mengatakan sebagai berikut:
صَحِيْحُ الإِسْنَادِ وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ ذَكَرْتُهُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ فِي هَذَا الْكِتَابِ
“Sanadnya shahih, dan ini adalah hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang pertama kali kusebutkan dalam kitab ini” (Al Mustadrak 2/672, hadits no 4228).
Imam Adz Dzahabi yang meringkas kitab Al Mustadrak ini mengomentari ucapan Imam Al Hakim tadi dengan mengatakan (بَلْ مَوْضُوعٌ!): “Bukan, justeru ini hadits palsu!”. Hadits ini diriwayatkan dari jalur: Abdullah bin Muslim Al Fihry, dari Isma’il bin Maslamah, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin Muslim ini disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal [9] berkenaan dengan hadits diatas, kemudian beliau menyifatinya dengan kata-kata (خَبَرٌ بَاطِلٌ): “Khabar (hadits) batil (palsu)”. Ungkapan beliau tadi disetujui oleh Ibnu Hajar, bahkan beliau menambahkan dalam kitabnya ‘Lisanul Mizan’ sebagai berikut:
لاَ أَسْتَبْعِدُ أَنْ يَكُونَ هُوَ الَّذِي قَبْلَهُ، فَإِنَّهُ مِنْ طَبَقَتِهِ
“Tidak menutup kemungkinan bahwa orang ini (Abdullah bin Muslim Al Fihry), adalah orang sebelumnya, karena dia berada satu level dengannya” (Lisanul Mizan, 3/359 Biografi no 1451). Orang yang sebelumnya ialah Abdullah bin Muslim bin Rusyaid (biografi no 1450), perawi ini oleh Ibnu Hibban dinyatakan sebagai tersangka pemalsu hadits (muttaham biwadh’il hadits).
Sedangkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam telah disepakati sebagai perawi yang dha’if, bahkan Al Hakim sendiri menyifatinya dalam kitab Al Madkhal ila Ma’rifatis Shahihi minas Saqiem (1/154 no 97):
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ: رَوَى عَنْ أَبِيْهِ أَحَادِيْثَ مَوْضُوعَةً لاَ تَخْفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَهَا مِنْ أَهْلِ الصَّنْعَةِ أَنَّ الحَمْلَ فِيْهَا عَلَيْهِ
“Abdurrahman bin Zaid bin Aslam: dia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu yang bila diperhatikan oleh ahli hadits, maka jelaslah bahwa pemalsuan tadi adalah perbuatannya”.
Jadi, jika kemudian Imam Al Hakim menshahihkan hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam ini, berarti ucapannya telah kontradiksi satu sama lain. Apalagi Al Hakim terkenal sebagai ulama yang paling gampang menshahihkan hadits, hingga banyak dari hadits-hadits lemah bahkan palsu yang beliau anggap shahih. Bahkan tidak ada ulama lain yang lebih gampangan dalam menshahihkan hadits daripada beliau. Karenanya, penshahihan beliau terhadap hadits di atas mendapat kritikan oleh para ulama. Demikian pula ulama-ulama lain yang mengikutinya dalam hal ini.[10]
Karenanya, sekumpulan ulama sepakat menganggapnya sebagai hadits dha’if bahkan maudhu’ (palsu), seperti Imam Al Baihaqy, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al Hafizh Adz Dzahabi, Al Hafizh Ibnu Hajar, dan Syaikh Al Albani.[11]
Lebih dari itu, bunyi hadits di atas juga aneh dan bertentangan dengan ayat Al Qur’an yang jelas-jelas mengatakan bahwa sebab diciptakannya jin dan manusia tidak lain ialah untuk beribadah kepada Allah, lantas bagaimana mungkin Allah mengatakan bahwa Adam –yang merupakan manusia pertama– diciptakan karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Rasulullah adalah anak cucunya yang belum lagi terwujud?
Orang yang mempercayai hadits palsu dan dusta di atas, kemudian meriwayatkannya dalam bukunya dan berdalil dengannya, berarti secara tidak langsung dia mendustakan firman Allah dalam QS Adz Dzariyat: 56 yang artinya: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Orang ini secara tidak langsung juga ikut berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ (رواه مسلم في المقدمة)
“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, padahal menurutnya hadits tersebut dusta, maka ia termasuk salah seorang pendusta” (HR Muslim dalam muqaddimah Shahihnya).
Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu tanpa diragukan lagi. Seandainya ada sementara kalangan yang ngotot menshahihkan sanadnya, maka sebagaimana pembaca lihat, bunyi hadits tersebut tidak mungkin bisa diterima, karena konsekuensinya kita harus menganggap bahwa Allah tidak menciptakan Adam supaya beribadah kepada-Nya, akan tetapi Dia menciptakannya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian penulis menyebutkan hadits lain -yang juga dha’if– dalam pembahasan berjudul: Tawassul Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seluruh Nabi [12]. Hadits tersebut bunyinya sebagai berikut:
اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Terjemahannya (versi Novel): “Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah Mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh ‘Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq (HR. Thabrani).
Kemudian Novel menukil bahwa Al Ghumari meng-hasankan hadits ini, sedangkan Ibnu Hibban men-shahihkannya. Lalu katanya: “Dalam hadis di atas disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang semuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa”.
Saya katakan: sebetulnya ada beberapa kesalahan di sini, pertama: hukum hadits di atas tidak shahih dan Novel sebenarnya tahu akan hal ini! Sebab setelah saya rujuk ke kitab yang disebutkan oleh Novel dalam catatan kakinya, disebutkan di situ bahwa dalam hadits ini ada perawi yang namanya Rauh bin Shalah. Dia dinyatakantsiqah oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan ia memiliki kelemahan[13], demikian menurut Al Haitsami[14].
Kedua, kalau pun hadits di atas kita anggap hasan atau shahih, toh ia sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para Nabi. Sebab dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “dengan hak Nabi-Mu… dst”, namun oleh Novel disisipi kata (kemuliaan)[15]; padahal kata-kata ini sama sekali tidak ada dalam hadits dan tidak disinggung sedikitpun. Intinya, ini adalah penyelewengan makna hadits yang disengaja oleh Novel! Kemudian, kalau kita perhatikan terjemahan yang bergaris bawah di atas, sebenarnya tidak ada masalah kalau kita memahaminya dengan benar. Sebab yang dimaksud hak Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelum beliau adalah untuk ditaati atas seizin Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ [النساء/64]
“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan seizin Allah…(alias ittiba’) “ (An Nisa’: 64).
Jadi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam e bertawassul dengan hak beliau dan hak para Nabi sebelumnya, sebenarnya beliau tidak bertawassul dengan dzat mereka yang sudah mati; akan tetapi bertawassul dengan salah satu amal shaleh, yaitu menaati para Nabi dengan seizin Allah. Dengan demikian, hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil yang membolehkan orang hidup untuk tawassul dengan yang sudah mati.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
Post A Comment:
0 comments: